Mungkin anda
sudah pernah membaca kisah ini. Sayapun juga demikian. Tapi entah kenapa saya
suka membaca ulang kisah ini. Paling tidak ketika saya membacanya saya kemudian
mempunyai cara pandang yang baru dalam memperlakukan anak, bagaimanapun
kondisinya.
Inilah
kisahnya...
“ Goblok
kamu ya…” Kata Suamiku sambil melemparkan buku lapor sekolah Risyad. Kulihat
suamiku berdiri dari tempat duduknya dan kemudian dia menarik kuping Risyad
dengan keras. Risyad meringis.
Tak berapa
lama Suamiku pergi kekamar dan keluar kembali membawa penepuk nyamuk. Dengan
garang suamiku memukul Risyad berkali kali dengan penepuk nyamuk itu. Penepuk
nyamuk itu diarahkan ke kaki, kemudian ke punggung dan terus , terus. Risyad
menangis “ Ampun, ayah ..ampun ayah..” Katanya dengan suara terisak isak.
Wajahnya memancarkan rasa takut. Dia tidak meraung. Risyad ku tegar dengan
siksaan itu. Tapi matanya memandangku. Dia membutuhkan perlindunganku. Tapi aku
tak sanggup karena aku tahu betul sifat suamiku.
Ilustrasi |
“Lihat adik
adikmu. Mereka semua pintar pintar sekolah. Mereka rajin belajar. Ini kamu anak
tertua malah malas dan tolol Mau jadi apa kamu nanti ?. Mau jadi beban adik
adik kamu ya…he “ Kata suamiku dengan suara terengah engah kelelahan memukuli
Risyad. Suamiku terduduk dikursi. Matanya kosong memandang kearah Risyad dan
kemudian melirik kearah ku “ Kamu ajarin dia. Aku tidak mau lagi lihat lapor
sekolahnya buruk. Dengar itu. “ Kata suamiku kepadaku sambil berdiri dan masuk
kekamar tidur.
Kupeluk
Risyad. Matanya memudar. Aku tahu dengan nilai lapor buruk dan tidak naik kelas
saja dia sudah malu apalagi di maki maki dan dimarahi didepan adik adiknya. Dia
malu sebagai anak tertua. Kembali matanya memandangku. Kulihat dia butuh
dukunganku. Kupeluk Risyad dengan erat “ Anak bunda, tidak tolol. Anak bunda
pintar kok. Besok ya rajin ya belajarnya”
“ Risyad
udah belajar sungguh sungguh, bunda, Bunda kan lihat sendiri. Tapi Risyad
memang engga pintar seperti uga dan citra. Kenapa ya Bunda” Wajah lugunya
membuatku terenyuh.. Aku menangis “ Risyad, pintar kok. Risyadkan anak ayah.
Ayah Risyad pintar tentu Risyad juga pintar. “
“ Risyad
bukan anak ayah.” Katanya dengan mata tertunduk “ Risyad telah mengecewakan
Ayah, ya bunda “
Malamnya ,
adiknya Uga yang sekamar dengannya membangunkan kami karena ketakutan melihat
Risyad menggigau terus. Aku dan suamiku berhamburan kekamar Risyad. Kurasakan
badannya panas.Kupeluk Risyad dengan
sekuat jiwaku untuk menenangkannya. Matanya melotot kearah kosong. Kurasakan
badannya panas. Segera kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi
dokter keluarga. Risyad tak lepas dari pelukanku “ Anak bunda, buah hati bunda,
kenapa sayang. Ini bunda,..” Kataku sambil terus membelai kepalanya. Tak berapa
lama matanya mulai redup dan terkulai. Dia mulai sadar. Risyad membalas
pelukanku. ‘ Bunda, temani Risyad tidur ya." Katanya sayup sayup. Suamiku
hanya menghelap nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah karena kejadian siang
tadi.
Risyad
adalah putra tertua kami. Dia lahir memang ketika keadaan keluarga kami sadang
sulit. Suamiku ketika itu masih kuliah dan bekerja serabutan untuk membiayai
kuliah dan rumah tangga. Ketika itulah aku hamil Risyad. Mungkin karena kurang
gizi selama kehamilan tidak membuat janinku tumbuh dengan sempurna. Kemudian ,
ketika Risyad lahir kehidupan kami masih sangat sederhana. Masa balita Risyad
pun tidak sebaik anak anak lain. Diapun kurang gizi. Tapi ketika usianya dua
tahun, kehidupan kami mulai membaik seiring usainya kuliah suamiku dan
mendapatkan karir yang bagus di BUMN. Setelah itu aku kembali hamil dan Uga
lahir., juga laki laki dan dua tahu setelah itu, Citra lahir, adik
perempuannya. Kedua putra putriku yang lahir setelah Risyad mendapatkan
lingkungan yang baik dan gizi yang baik pula. Makanya mereka disekolah pintar
pintar. Makanya aku tahu betul bahwa kemajuan generasi ditentukan oleh
ketersediaan gixi yang cukup dan lingkungan yang baik.
Tapi keadaan
ini tidak pernah mau diterima oleh Suamiku. Dia punya standard yang tinggi
terhadap anak anaknya. Dia ingin semua anaknya seperti dia. Pintar dan cerdas.
“ Masalah Risyad bukannya dia tolol, Tapi dia malas. Itu saja. “ Kata suamiku
berkali kali. Seakan dia ingin menepis tesis tentang ketersediaan gizi sebagai
pendukung anak jadi cerdas. “ Aku ini dari keluarga miskin. Manapula aku ada
gizi cukup. Mana pula orang tuaku ngerti soal gixi. Tapi nyatanya aku berhasil.
“ Aku tak bisa berkata banyak untuk mempertahankan tesisku itu.
Seminggu
setelah itu, suamiku memutuskan untuk mengirim Risyad kepesantren. AKu
tersentak.
“ Apa alasan
Mas mengirim Risyad ke Pondok Pesantren “
“ Biar dia
bisa dididik dengan benar”
“ Apakah
dirumah dia tidak mendapatkan itu”
“ Ini sudah
keputusanku, Titik.
“ tapi
kenapa , Mas” AKu berusaha ingin tahu alasan dibalik itu.
Suamiku
hanya diam. Aku tahu alasannya.Dia tidak ingin ada pengaruh buruk kepada kedua
putra putri kami. Dia malu dengan tidak naik kelasnya Risyad. Suamiku ingin
memisahkan Risyad dari adik adiknya agar jelas mana yang bisa diandalkannya dan
mana yang harus dibuangnya. Mungkinkah itu alasannya. Bagaimanapun , bagiku
Risyad akan tetap putraku dan aku akan selalu ada untuknya. Aku tak berdaya.
Suamiku terlalu pintar bila diajak berdebat.
Ketika
Risyad mengetahui dia akan dikirim ke Pondok Pesantren, dia memandangku. Dia
nanpak bingung. Dia terlalu dekat denganku dan tak ingin berpisah dariku.
Dia peluk
aku “ Risyad engga mau jauh jauh dari bunda” Katanya.
Tapi
seketika itu juga suamiku membentaknya “ Kamu ini laki laki. Tidak boleh
cengeng. Tidak boleh hidup dibawah ketika ibumu. Ngerti. Kamu harus ikut kata
Ayah. Besok Ayah akan urus kepindahan kamu ke Pondok Pesantren. “
Baca juga:
Setelah
Risyad berada di Pondok Pesantren setiap hari aku merindukan buah hatiku. Tapi
suamiku nampak tidak peduli. “ Kamu tidak boleh mengunjunginya di pondok. Dia
harus diajarkan mandiri. Tunggu saja kalau liburan dia akan pulang” Kata
suamiku tegas seakan membaca kerinduanku untuk mengunjungi Risyad.
Tak terasa
Risyad kini sudah kelas 3 Madrasa Aliyah atau setingkat SMU. CITRA kelas 1 SMU
dan Uga kelas 2 SLP. Suamiku tidak pernah bertanya soal Raport sekolahnya. Tapi
aku tahu raport sekolahnya tak begitu bagus tapi juga tidak begitu buruk. Bila
liburan Risyad pulang kerumah, Risyad lebih banyak diam. Dia makan tak pernah
berlebihan dan tak pernah bersuara selagi makan sementara adiknya bercerita
banyak soal disekolah dan suamiku menanggapi dengan tangkas untuk mencerahkan.
Walau dia satu kamar dengan adiknya namun kamar itu selalu dibersihkannya
setelah bangun tidur. Tengah malam dia bangun dan sholat tahajud dan berzikir
sampai sholat subuh.
Ku
purhatikan tahun demi tahu perubahan Risyad setelah mondok. Dia berubah dan
berbeda dengan adik adiknya. Dia sangat mandiri dan hemat berbicara. Setiap
hendak pergi keluar rumah, dia selalu mencium tanganku dan setelah itu
memelukku. Beda sekali dengan adik adiknya yang serba cuek dengan gaya hidup
modern didikan suamiku.
Setamat
Madrasa Aliyah, Risyad kembali tinggal dirumah. Suamiku tidak menyuruhnya
melanjutkan ke Universitas. “ Nilai rapor dan kemampuannya tak bisa masuk
universitas. Sudahlah. Aku tidak bisa mikir soal masa depan dia. Kalau dipaksa
juga masuk universitas akan menambah beban mentalnya. “ Demikian alasan
suamiku. Aku dapat memaklumi itu. Namun suamiku tak pernah berpikir apa yang
harus diperbuat Risyad setelah lulus dari pondok. Risyadpun tidak pernah
bertanya. Dia hanya menanti dengan sabar.
Selama
setahun setelah Risyad tamat dari mondok, waktunya lebih banyak di habiskan di
Masjid. Dia terpilih sebagai ketua Remaja Islam Masjid. Risyad tidak memilih Masjid
yang berada di komplek kami tapi dia memilih masjid diperkampungan yang berada
dibelakang komplek. Mungkin karena inilah suamiku semakin kesal dengan Risyad
karena dia bergaul dengan orang kebanyakan. Suamiku sangat menjaga reputasinya
dan tak ingin sedikitpun tercemar. Mungkin karena dia malu dengan cemoohan dari
tetangga maka dia kadang marah tanpa alasan yang jelas kepada Risyafd. Tapi
Risyad tetap diam. Tak sedikitpun dia membela diri.
Suatu hari
yang tak pernah kulupakan adalah ketika polisi datang kerumahku. Polisi
mencurigai Risyad dan teman temannya mencuri di rumah yang ada di komplek kami.
Aku tersentak. Benarkah itu. Risyad sujud dikaki ku sambil berkata “ Risyad
tidak mencuri , Bunda. Tidak, Bunda percayakan dengan Risyad. Kami memang sering
menghabiskan malam di masjid tapi tidak pernah keluar untuk mencuri.” Aku
meraung ketika Risyad dibawa kekantor polisi. Suamiku dengan segala daya dan
upaya membela Risyad. Alhamdulilah Risyad dan teman temannya terbebaskan dari
tuntutan itu. Karena memang tidak ada bukti sama sekali. Mungkin ini akibat
kekesalan penghuni komplek oleh ulah Risyad dan kawan kawan yang selalu
berzikir dimalam hari dan menggangu ketenangan tidur.
Tapi akibat
kejadian itu , suamiku mengusir Risyad dari rumah. Risyad tidak protes. Dia
hanya diam dan menerima keputusan itu. Sebelum pergi dia rangkul aku” Bunda ,
Maafkanku. Risyad belum bisa berbuat apapun untuk membahagiakan bunda dan Ayah.
Maafkan Risyad“ Pesanya. Diapun memandang adiknya satu satu. Dia peluk mereka
satu persatu “ Jaga bunda ya. Mulailah sholat dan jangan tinggalkan sholat.
Kalian sudah besar .” demikian pesan Risyad Suamiku nampak tegar dengan
sikapnya untuk mengusir Risyad dari rumah.
“ Mas, Dimana Risyad akan tinggal. “ Kataku dengan
batas kekuatan terakhirku membela Risyad.
“ Itu bukan
urusanku. Dia sudah dewasa. Dia harus belajar bertanggung jawab dengan hidupnya
sendiri.
***
Tak terasa
sudah enam tahun Risyad pergi dari Rumah. Setiap bulan dia selalu mengirim
surat kepadaku. Dari suratnya kutahu Risyad berpindah pindah kota. Pernah di
Bandung, Jakarta, Surabaya dan tiga tahun lalu dia berangkat ke Luar negeri.
Bila membayangkan masa kanak kanaknya kadang aku menangis. Aku merindukan putra
sulungku. Setiap hari kami menikmati fasilitas hidup yang berkecukupan. Citra
kuliah dengan kendaraan bagus dan ATM yang berisi penuh. Ugapun sama. Karir
suamiku semakin tinggi. Lingkungan social kami semakin berkelas. Tapi, satu
putra kami pergi dari kami. Entah bagaimana kehidupannya. Apakah dia lapar.
Apakah dia kebasahan ketika hujan karena tidak ada tempat bernaung. Namun dari
surat Risyad, aku tahu dia baik baik saja. Dia selalu menitipkan pesan kepada
kami, “ Jangan tinggalkan sholat. Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga
kita siang dan malam. “
***
Prahara
datang kepada keluarga kami. Suamiku tersangkut kasus Korupsi. Selama proses
pemeriksaan itu suamiku tidak dibenarkan masuk kantor. Dia dinonaktifkan.
Selama proses itupula suamiku nampak murung. Kesehatannya mulai terganggu.
Suamiku mengidap hipertensii. Dan puncaknya , adalah ketika Polisi menjemput
suamiku di rumah. Suamiku terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Rumah dan
semua harta yang selama ini dikumpulkan disita oleh negara. Media maassa
memberitakan itu setiap hari. Reputasi yang selalu dijaga oleh suamiku selama
ini ternyata dengan mudah hancur berkeping keping. Harta yang dikumpul, sirna
seketika. Kami sekeluarga menjadi pesakitan. Citra malas untuk terus kuliah
karena malu dengan teman temannya. Uga juga sama yang tak ingin terus kuliah.
Kini suamiku
dipenjara dan anak anak jadi bebanku dirumah kontrakan. Ya walau mereka sudah
dewasa namun mereka menjadi bebanku. Mereka tak mampu untuk menolongku. Baru
kutahu bahwa selama ini kemanjaan yang diberikan oleh suamiku telah membuat
mereka lemah untuk survival dengan segala kekurangan. Maka jadilah mereka
bebanku ditengah prahara kehidupan kami. Pada saat inilah aku sangat merindukan
putra sulungku. Ditengah aku sangat merindukan itulah aku melihat sosok pria
gagah berdiri didepan pintu rumah.
Ridyadku ada
didepanku dengan senyuman khasnya. Dia menghambur kedalam pelukanku. “ Maafkan
aku bunda, Aku baru sempat datang sekarang sejak aku mendapat surat dari bunda
tentang keadaan ayah. “ katanya. Dari wajahnya kutahu dia sangat merindukanku.
Citra dan Uga juga segera memeluk Risyad. Mereka juga merindukan kakaknya. Hari
itu, kami berempat saling berpelukan untuk meyakinkan kami akan selalu bersama
sama.
Kehadiran
Risyad dirumah telah membuat suasana menjadi lain. Dengan bekal tabungannya
selama bekerja diluar negeri, Risyad membuka usaha percetakan dan reklame. Aku
tahu betul sedari kecil dia suka sekali menggambar namun hobi ini selalu di
cemoohkan oleh ayahnya. Risyad mengambil alih peran ayahnya untuk melindungi
kami. Tak lebih setahu setelah itu, Citra kembali kuliah dan tak pernah
meninggalkan sholat dan juga Uga. Setiap maghrib dan subuh Risyad menjadi imam
kami sholat berjamaah dirumah. Seusai sholat berjaman Risyad tak lupa duduk
bersilah dihadapan kami dan berbicara dengan bahasa yang sangat halus , beda
sekali dengan gaya ayahnya
“ Manusia tidak dituntut untuk terhormat dihadapan manusia tapi dihadapan Allah. Harta dunia, pangkat dan jabatan tidak bisa dijadikan tolok ukur kehormatan. Kita harus berjalan dengan cara yang benar dan itulah kunci meraih kebahagiaan dunia maupun akhirat. Itulah yang harus kita perjuangkan dalam hidup agar mendapatkan kemuliaan disisi Allah. . Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita. Apakah ada yang lebih hebat menjaga kita didunia ini dibandingkan dengan Allah. “
“ Apa yang menimpa keluarga kita sekarang bukanlan azab dari Allah. Ini karena Allah cinta kepada Ayah. Allah cinta kepada kita semua karena kita semua punya peran hingga membuat ayah terpuruk dalam perbuatan dosa sebagai koruptor. Allah sedang berdialogh dengan kita tentang sabar dan ikhlas, tentang hakikat kehidupan, tentang hakikat kehormatan. Kita harus mengambil hikmah dari ini semua untuk kembali kepada Allah dalam sesal dan taubat. Agar bila besok ajal menjemput kita, tak ada lagi yang harus disesalkan, Karna kita sudah sangat siap untuk pulang keharibaan Allah dengan bersih. “
Seusai
Risyad berbicara , aku selalu menangis. Risyad yang tidak pintar sekolah, tapi
Allah mengajarinya untuk mengetahui rahasia terdalam tentang kehidupan dan dia
mendapatkan itu untuk menjadi pelindung kami dan menuntun kami dalam taubah.
Ini jugalah yang mempengaruhi sikap suamiku dipenjara. Kesehatannya membaik.
Darah tingginya tak lagi sering naik. Dia ikhlas dan sabar , dan tentu karena
dia semakin dekat kepada Allah. Tak pernah tinggal sholat sekalipun. Zikir dan
linangan airmata sesal akan dosanya telah membuat jiwanya tentram.
Mahasuci
Allah , terimakasih ...
Saat suamiku
keluar dari hotel prodeo Risyad yg menjemput nya di depan pintu didampingi oleh
kedua adiknya... aku melihat dari kejauhan...
Risyad langsung salim cium tangan ayahnya kemudian mereka berdua berpelukan
erat... Suamiku memandang cukup lama ke
arah muka Risyad... pasti kangen suamiku
dengan anak sulungnya itu .... tidak terasa air mataku mengalir melihat moment yang
indah itu... sejak kecil Risyad selalu
merindukan pelukan ayahnya namun tidak pernah dia dapatkan.... hanya adik² nyalah yang sering dipeluk ayahnya
karena prestasi sekolahnya lebih
baik..
beda dengan Risyad justru pukulan yang sering dia terima....
0 Komentar untuk "Orang Tua dan Calon Orang Tua Wajib Baca! Kisah Mengharukan..."